Poker Face



Aku seorang pemimpi. Apa ada yang salah dengan kejujuran itu? Tulus tidak semua orang mau mengerti apa alasan aku menjadi pemimpi. Mereka bilang kau hidup di dunia yang nyata dan kenyataan adalah hal lebih baik kau hadapi daripada kau menghabiskan waktumu untuk bermimpi. Bagian terkecil dari dunia mimpimu adalah saatnya kau harus bangun.

Mungkin aku memang lambat dalam melangkahkan kakiku untuk meraih mimpiku. Tapi aku tak pernah bermain-main dengan mimpiku. Mereka yang terus menceomohku kenapa tidak bisa mengerti apa mauku? Aku tak mau merepotkan mereka. Sungguh aku tak bermaksud. Apa karena perbedaan pandangan dalam menentukan masa depanku lantas aku berbeda? Kalah bersaing apa yang dimaksudnya? Dari sekian banyak orang yang menyimpan mimpi besarnya apa pernah mengalami hal seperti ini? Atau aku hanya salah satu darinya?

Aku tahu aku masih hidup dibawah perintahnya bahkan hingga sekarang ini, tapi apa aku tidak bisa menentukan apa yang ingin aku gapai? Tuan yang terhormat! Maaf, aku bukan orang yang seperti yang mungkin kau harapkan. Ya, aku salah. 10.000.000.000 % aku salah. Bahkan 1/10.000.000.000 % kebenaran yang aku lakukan pun akan tetap salah di matamu. Jadi tidak akan ada beda antara apa yang aku lakukan dengan caraku dan apa yang kulakukan mengikuti caramu.

Kalau kau mengaku kau benar, satu hal saja apa kau bisa mengungkap kebenaran yang mungkin akan seumur hidupmu kau simpan? Aku tak pernah meminta untuk jadi seperti ini, namun aku harus menghadapinya. Berandai-andai sudah menjadi bagian dari hidupku dan yah itu semua hanya sekedar andaian. Tapi bila kau mengatakan bahwa semua mimpiku itu adalah semu, kau salah. Aku serius berbicara mengenai apa yang aku mimpikan. Aku serius mengejar apa yang aku yakini. Aku sakit saat orang-orang mengatakan bahwa aku harus melupakan dan lebih realistis dengan yang kulakukan.

Aku bukan sedang bermain-main menentukan masa depanku, aku bukan sedang bermain-main mengejar mimpi-mimpiku. Mungkin dari sekian banyak impianku satu per satu yang terwujud sangat memerlukan waktu. Namun perlu kupertegas lagi bahwa aku benar-benar serius dengan apa yang lakukan.

Aku yang akhirnya akan selalu kau salahkan. Memang dari awal aku tidak perlu mengejar apa-apa yang aku yakini. Tidak perlu. Harusnya memang menurut saja kepadamu seperti budak atau sapi perah yang dengan mudah kapan saja kau cucuk hidungnya. Kasian. Kasian? Hidupku sudah penuh dengan sebuah kata kasian yang bahkan setiap orang melihatku dengan iba. “Sungguh malang nasibmu, sayang..” Aku seorang pecundang yang akan sampai kapanpun tetap menjadi pecundang. Jadi, buat apa aku risaukan hidupku dengan pekerjaan orang lain yang mencoba menyadarkanku.

Hidup yang berawal dari kesalahan, akan terus menjadi kesalahan sampai akhirnya. Begitu pula engkau hidup sebagai pemimpi seorang diri maka berakhir pun menjadi seorang diri juga entah bersama mimpimu yang terkabul atau tidak. Jadi, kesimpulannya aku hidup dalam mimpi terburukku, sayang. Bukan mimpi indah. Tidak ada beda dengan nightmare yang menghantuiku di siang hari sekali pun. Jadi kau tidak perlu membangunkanku.

Jika orang melihat kau iba kepadaku karena kau peduli. That’s problem. Itu masalah. Karena kau sama sekali tidak merasa peduli kepadaku hanya tidak mau aku nantinya malah merepotkanmu.

Hai, Tuan! Aku tak perlu sandiwaramu, tidak perlu juga belas kasihanmu. Kau sama saja dengan para penjilat di atas sana. Jadi perlu dengan sangat aku perjelas lagi bahwa aku tidak meminta apapun darimu dan tidak mengharapkan belas kasihmu. Aku sama sekali tidak memerlukan bantuanmu. Terasing lebih baik dan aku merasa menjadi baik sebagai pemimpi bodoh di dunia yang bodoh walau kau orang terakhir yang paling pintar di dunia yang bodoh ini. 


NO COPY PASTE WITHOUT CREDIT coffeepen,books

Comments