Diam ini Bukan Emas Tapi Tiang Pancung untuk Hidupmu

Sudah pernah menjelajah ke negeri tanpa suara? Apa kamu penasaran dengan perjalanan si kaki di negeri tanpa suara? Baiklah aku akan menceritakannya padamu.

Kisah ini bukan berasal dari fairy tale atau karangan fiksi belaka. Tapi memang terinspirasi dari kisah nyata dan si kaki ini pun sebenarnya ada (nama tokoh sengaja disamarkan).

Semula berawal dari kenyamanan si kaki yang hidup penuh dengan keambisiusan untuk mencapai impian dan mimpinya. Satu persatu hal yang dia impikan selalu menjadi kenyataan. Memulai dari hal kecil yang dalam hidupnya merupakan masa berharga, hingga hal besar yang lumayan sudah bisa dia wujudkan.

Pekerjaan si kaki yang notaben sukses membuatnya lupa diri hingga akhirnya dia harus keluar dari zona amannya. Berjalan waktu yang dibutuhkan olehnya sungguh lama hingga dia bisa mendapatkan kembali sedikit zona amannya. Tanpa dia sadar, zona yang baru itu sendiri merupakan bumerang dari kesombongannya selama ini.

"Akhirnya, aku bisa melegakan nafas sejenak dari waktu penat yang memburuku karena perkara menunggu." Desah halus si kaki melegakan hati yang diburu selama ini. "Paling tidak kedepannya aku bisa menata kembali impian-impian baru yang akan aku dapatkan." Lanjutnya sambil menulis segala keperluan untuk mimpi barunya.

Si kaki memang orang yang hebat. Niatnya untuk sukses selalu diiringi dengan kemampuan menghitung hal yang dapat menggagalkan jalannya untuk meraih mimpinya. Namun siapa sangkan hal yang membuatnya terlihat hebat dan pintar di mata orang lain, justru menjadikannya terlihat sangat lemah dan tidak memiliki kapasitas.

Sebagian orang meremehkannya tentang mimpi dan impian besarnya yang selama ini diam-diam dia rengkuh walau hanya sedikit keberhasilan yang terlihat. Karena hal itu pulalah yang membuat si kaki berdiam dan menganggap mereka tidak ada. 'Cuek'!! "Apapun yang orang katakan biarlah mereka berkata. Toh aku yang menjalani hidupku. Tak bermaksud diam yang akan menjadi emas, tapi yang aku tahu diam ini membantuku untuk fokus dengan tujuanku." Sekali lagi si kaki bergumam dengan hatinya sebagai teman.

Si kaki selama dikenal oleh orang sekitarnya adalah sosok yang sangat baik, ramah dan humble. Hanya karena keegoisannya untuk meraih mimpinya, orang disekitarnya menganggap aneh dirinya. Hal ini juga penyebab dia berubah menjadi lebih pasif dan malas untuk bersuara atau sekedar berkomunikasi. Si kaki merasa dia hidup dengan dirinya sendiri.

Andai mereka semua mengerti maksud hatinya berubah seperti ini. Si kaki lelah dengan semua hal yang terasa dibebankan seluruhnya padanya. Walaupun berkelompok menyelesaikan masalah yang dihadapi. Tetap dia merasa sepi. Sahabat yang memang mengerti tentang keadaan si kaki membantunya dan memotivasi dirinya untuk tetap bertahan meraih mimpinya.

Orang yang dekat dengannya dan tidak sabar dengan jalannya mencapai mimpinya, hanya bisa meneriaki untuk secepatnya menyelesaikan jalannya. Tapi jujurlah si kaki hanya mampu memendam dan berteriak disepinya bahwa dia juga lelah. Bahwa dia juga tidak sabar sama halnya seperti mereka.

"Mereka yang bertopeng didepanku ataupun dengan jelas memperlihatkan wajahnya dihadapanku hanya untuk meremehkanku. Aku berterima-kasih banyak. Karena kalian aku tahu tujuanku untuk siapa. Aku tahu jalan itu tidak mudah dan aku juga tahu kalo aku pantas menerima lebih dari ini. Cukup kalian lihat!" Suara si kaki. "Karena diamku ini bukan emas yang menghasilkan untuk kalian, tapi tiang pancung untuk hidupmu..."

Dan itulah mengapa si kaki sekarang bisa menjelajah di negeri tanpa suara. Karena dia yang membuat negeri tanpa suara di dunia sendiri. Tanpa perlu banyak bersuara dan berkomunikasi dengan mereka yang meremehkan. Jauh akhirnya nanti diam si kaki mampu menaklukan mereka yang cerewet berkeluh-kesah dan meremehkannya untuk ikut diam di negeri tanpa suara.

Suaramu bagus saat kau pergunakan untuk membantu dan memotivasi orang lain. Tapi itu akan menjadi sia-sia jika kau hanya mempergunakan untuk menjatuhkan orang lain.


NO COPY PASTE WITHOUT CREDIT coffeepen,books

Comments