Masih dengan Pertanyaan yang Sama di Halaman Berikutnya

"Sudah selesai kau membaca itu?" dia bertanya sambil mununjuk ke buku yang sedang kubaca.

"Hmm, baru pertengahan buku. Hanya beberapa bab lagi aku selesai membaca. Ada apa?"

Perlahan kuturunkan buku yang sedang kubaca itu dan pandanganku langsung tertuju padanya. Memandang bertanya.

"Sebenarnya apa yang ingin kau tanyakan?" masih dengan pandangan yang sama.

"Bukan hal penting menurutku. Tapi rasanya aku butuh kau untuk mencari jawaban dari pertanyaan ini."

"Mengenai hal apa? Coba ceritakan mungkin aku dapat membantu mencari jawabannya."

"Apa kau bisa menjawab tentang ini? Mengenai perasaan manusia yang sudah sepertinya kau rasakan. Aku ingin membicarakan mengenai cinta."

"Cinta? Apa kau sedang jatuh cinta? Dengan siapa?"

"Bukan aku, tapi kau. Dengan cinta pertamamu yang masih kau simpan hingga saat ini."

"Aku? Dengan cinta pertamaku?"

Heran. Tentu saja aku heran. Bagaimana bisa dia tahu tentang perasaan yang aku pendam ini? Darimana? Siapa yang telah memberitahunya? Mukaku terlihat memerah.

"Ada apa denganmu? Kenapa mukamu terlihat memerah begitu? Aaah, benarkah kau merasakan perasaan tersebut?"

"Hmm, tidak! Maksudku kau tidak perlu bertanya lagi, karena aku akan memberikan jawaban dari pertanyaanmu itu. Sudah cepat katakan!"

Aku berusaha mengganti topik dari pertanyaannya agar dia tidak bertanya lebih mengenai perasaan ini.

"Baik, baik! Tak perlu secepat itu juga. Aku bahkan belum memulai untuk bertanya. Bagaimana reaksimu jika aku mempertanyakan hal ini"

"Apa? Sudah cepat tanyakan!"

"Apa yang akan kau lakukan jika ada seseorang yang kau harapkan menyatakan perasaannya yang nyata padamu? Bagaimana reaksimu menanggapinya?"

Perasaan yang nyata? Sebenarnya apa yang mau dia katakan? Tak perlu dia tanya berbelit-belitkan? Tapi ya sudahlah. Memang aku sudah berjanji untuk berusaha menjawab pertanyaannya.

"Hmm, kalo dia tulus mengatakan apa yang dirasakannya, mungkin aku akan berkata iya untuk menerimanya jika kau juga punya perasaan yang sama. Jika tidak, aku juga akan berkata jujur untuk menolaknya."

"Tapi bagaimana jika dia memintamu untuk menolaknya, padahal kau tau dia juga menyimpan perasaan itu begitu lama? Kau tau betapa sesak dan capeknya dia menyimpan itu sendiri."

"Maksudnya? Kenapa kau bertanya seolah menujuk kepadaku?"

"Aduh! Sepertinya kau sensi sekali sekarang ini. Apakah aku salah bertanya mengenai hal ini?"

Aku juga bingung mengapa hal ini terjadi. Atau karena ini terlibat dengan perasaan dan juga buku yang sedang aku baca.

"Bukan itu maksudku. Aku tak bermaksud sensi atau apa yang kau pikirkan, tapi jujur ini mengena sekali dengan perasaanku."

"Oooh, i see. Oke, kita lupakan mengenai perasaanmu atau siapapun yang merasakan. Mencobalah menjadi orang yang belum pernah merasakan perasaan ini."

"Baiklah! Akan aku coba."

Aku coba menghembuskan nafas pelan dan menariknya kembali sekuat tenaga. Berharap hal ini dapat menenangkanku dan membuatku lebih rileks lagi.

"Dari buku yang aku baca dan beberapa hal yang aku ingat untuk tidak terlibat langsung dengan topik yang kau tanyakan, aku butuh segelas air."

Kenapa rasanya sulit sekali menjawab hal ini. Dia pun memberikanku segelas air dan tersenyum kepadaku.

"Bagaimana apa kau sanggup untuk menjawab pertanyaanku?" dia memandangku dengan lurus.

"Terima kasih untuk airnya. Aku sudah lebih rileks sekarang jadi aku yakin akan sanggup menjawab pertanyaanmu tadi. Ada garis panjang yang membentang antara yang hilang dan terlupa. Termasuk tentang cinta. Masa lalu yang mungkin sudah terlupa dan juga tentang kenangan yang berusaha untuk dihilangkan."

"Lalu?"

"Aku tidak bisa berusaha menjabarkan begitu panjang lebar. Karena dia yang aku tunggu untuk menjawab pertanyaan yang sama pun tidak memberikan jawaban yang aku inginkan. Apa masih perlu aku tanyakan lagi?"

"Apa kau tidak bisa menjawab hal ini dari buku yang selalu kau baca? Apa tidak cukup dengan semua buku yang telah kau habiskan? Tolonglah bantu aku untuk menjawab! Mungkin di halaman selanjutnya."

"Maafkan aku. Akupun tak mampu untuk menjawab hal ini. Karena jika dia memilih untuk mengambil haknya tak menjawab akupun demikian. Maka aku tak bisa memberikan jawaban yang lebih jauh dari apa yang bisa aku jabarkan."

"Baiklah, aku mengerti walaupun aku sedikit kecewa dengan keputusanmu. Akupun tak memaksa. Sebagai gantinya kau harus mentraktirku secangkir kopi hangat. Kau tau kesukaanku kan?"

"Oke, apapun untukmu. Aku juga ingin secangkir moccacino."

Begitu pesanan kami datang, aku memberikan senyuman khasku kepada pelayan. Apa kau mau tau siapa disampingku? Dia bukan secangkir kopi seperti kemarin. Dia juga bukan buku yang sekedar ingin kuselasaikan dibaca pada halaman sebelumnya dan berharap aku menggantinya ke halaman berikutnya. Dia teman lamaku.

Untuk setiap hal yang dia tanyakan itu, aku juga masih mencari jawaban yang sama. Masih menunggu jawaban dari pertanyaan yang sama yang aku ajukan kepadanya. Bahkan setelah aku menanti melanjutkan membaca halaman berikutnya.


NO COPY PASTE WITHOUT CREDIT coffeepen,books



Comments