Secangkir Kopi Lagi

"Duduk dululah sejenak! Regangkan sedikit uratmu yang telah kaku."

Celotehnya membuatku teringat akan ibuku di rumah. Apa yang beliau lakukan sekarang? Otak ini melompat cepat dalam deretan foto ingatan tentang beliau. Dari aku lahir hingga dewasa. Sedikit banyak perasaan rindu mengembang.

"Baiklah. Jangan ceweret seperti itu!" ucapku padanya.

"Apa yang ingin kau bagikan lagi denganku hari ini? Masihkah sama cerita tentang cinta pertamamu? Atau tentang pengalaman barumu?"

"Bukan tentang hal itu yang ingin aku bagikan denganmu. Tapi hal lain mengenai teman-temanku semasa sekolah."

"Baiklah, aku akan dengarkan."

Akupun memulai ceritaku. Tapi apa yang hendak aku ceritakan padanya? Semua mengenai teman-temanku? Atau bernarasi dengan menggambarkan seperti apa mereka sekarang? Hendaknya aku memulai semuanya dari awal. Karena nampak jelas dia sedang tidak sabar menunggu ceritaku.

Malam itu, sebuah perasaan membatu sepertinya di hatiku. Seperti pijar lampu yang menyala. Pikiranku tertuju pada mereka yang jujur akhir-akhir ini aku kangenin. Jadi, saat itu juga kuputuskan untuk menghubungi mereka. Meminta waktu mereka sejenak untuk berkumpul bersama disela kesibukan untuk mencukupi hidup di dunia fana ini. Apakah aku bisa berkumpul dengan mereka semua?

Masih berusaha untuk dapat mengumpulkan mereka. Ibarat mengumpulkan emas yang harus dioyak oleh air dan pasir. Sulit namun berharga. Tak semua teman dapat bertemu pada hari itu. Tapi paling tidak kehadiran satu orang yang sangat lama tak bersua sedikit mengobati penyakit lamaku.

"Tunggu! Apa yang kau lakukan dengan teman-temanmu pada hari itu? Berapa orang yang akhirnya ikut datang menemanimu?"

Tiba-tiba saja dia memotong ceritaku.

"Sabarlah! Aku baru mau menuju kesana."

"Oke, lanjutkan!"

Tak banyak yang kami lakukan hanya saling bertukar cerita tentang kabar saat ini dan mengenang masa-masa sekolah. Tapi ada sebagian dalam hatiku merasa sedih. Sebab semua orang yang dulu terasa dekat menjadi asing. Bukan bermaksud membicarakan ketiadaan mereka sekarang. Hanya aku menjadi sadar bahwa sekarang ini kami hanya mengandalkan waktu untuk kebutuhan pribadi. Bersua dengan orang yang sama pada poros baru. Jujur aku merasa kehilangan besar dengan semua itu. Apa mereka juga merasakannya?

"Jadi, maksudmu kau kehilangan moment berharga kembali seperti ketika berpisah dari masa sekolah?"

"Iya."

Sejak malam itu. Sejak hari kelabu berlalu kembali, nyatanya aku tak bisa berbalik. Mengingat kejayaan bersama mereka, membuatku ingin menapak tilas kembali ke titik awal pertemuan. Semoga saja lebih banyak menangkap potret kenangan lebih dari sekarang.

"Apa aku boleh menawarkan sesuatu? Menawarkan manis yang memiliki ampas dan bersinggungan dengan pahit? Dari ampas pahit yang tersisa. Saringlah... Tak bisa tersaring jernih. Karena pada akhirnya sang ampas akan mengendap. Sering terseduh semakin sering mengendap."

"Boleh. Seberapa cangkir yang mampu kau siapkan?"

"Karena aku sudah secangkir malam ini. Aku bisa menyiapkan secangkir lagi jika kau mau."

"Aku mau. Karena malam ini mengagetkan, aku rasa memang butuh secangkir lagi. Sebelumnya terima kasih sudah menemani ku dan mendengar celotehanku malam ini."

"Sama-sama."

Begitulah aku. Duduk sendiri dengan secangkir kopi menemaniku. Lalu siapa dia? Dialah secangkir kopi yang kuhirup dari dalam gelas dan berbicara denganku. Lalu secangkir lagi? Ya, masih dengan kopi yang sama, hanya bertambah secangkir kopi lagi.


NO COPY PASTE WITHOUT CREDIT coffeepen,books

Comments