Begadang Asyik ala Bokap

"Siapa yang paling kau sayang antara ayah dan ibu? Siapa yang paling kau takuti dan paling kau segani diantara keduanya? Ayahmu atau ibu?"

Entah bagaimana saat bertemu muka dengannya lagi, langsung kulontarkan pertanyaan itu. Apa dia langsung menjawab? Tidak. Air mukanya terlihat seperti habis berpikir keras.

"Tak perlu kau jawab jika belum menemukan jawabannya. Aku hanya ingin menanyakan kepadamu saja. Bukan meminta jawaban." aku berusaha menenangkannya.

"Bukan begitu. Aku juga sama sepertimu sedang menanyakan hal yang sama kepada diriku sendiri. Bagaimana kabar ayahmu? Masih gaul seperti sebelumnya?" tiba-tiba dia menanyakan kabar ayahku.

"Beliau baik. Harusnya kau memanggilnya bokap. Karena dia enggan dipanggil ayah jika kita sedang membicarakannya."

"Iya, aku suka lupa dengan hal ini."

Jujur sebenarnya tak ada rencana untukku bertemu dengannya hari ini. Kalo bukan karena secangkir moccacino traktirannya aku enggan untuk datang.

"Ada apa kau mengajakku bertemu? Sesuatu penting kah yang ingin kau kabarkan?"

"Aku hanya ingin bertukar kabar denganmu. Ayolah, tak usah memasang wajah terpaksa dan bosan begitu!"

"Oke." aku tersenyum masi dengan terpaksa.

"Apa kau tau? Baru-baru ini ayahku mengajak berbincang serius denganku. Membicarakan masa mudanya hingga aku pun merasa aneh dengan tingkahnya."

"Apa yang aneh dengan hal itu? Bukankah biasa antara ayah dan anak berbincang bersama?" aku merasa heran dengan cerita yang dia katakan.

"Bukan hal aneh untukmu tapi tidak untukku. Kau tau sendiri ayahku bukan orang yang dekat denganku. Bahkan antara ibu atau ayah yang paling ingin aku jauhi adalah ayah."

"Mengapa?"

"Entahlah. Aku pun tak tahu. Hanya jika bersamanya aku kurang merasa nyaman berbeda ketika bersama dengan ibuku."

"Hmmm.. Aku mengerti maksudmu. Aku juga pernah merasakan hal yang sama dengan ayahku."

"Bagaimana bisa? Bukankah dekat dengannya? Bahkan terlihat seperti teman lama."

Entah apa yang membuatku kaget mendengar keheranan yang dia perlihatkan dari pertanyaan itu kepadaku. Apa ada yang salah jika aku juga pernah mengalami hal yang menurutku itu manusiawi?

"Mengapa memangnya? Tidak ada yang salah bukan ketika aku juga pernah mengalami hal yang sama yang kau rasakan sekarang?"

"Bukan begitu, aku hanya heran karena selama ini yang kau perlihatkan adalah kedekatan yang membuat orang iri. Sempurna tanpa celah."

"Haahaaha.. Kau membuatku terlena dengan ucapanmu barusan. Itu bukan hal yang sempurna atau sesuatu yang perlu kau tinggikan, karena aku yakin semua orang juga bisa melakukannya."

"Benar. Lalu apa yang terjadi saat kau dengan ayahmu mengalami hal itu?" dia bertanya. Sepertinya dia mulai tertarik untuk membahas hal ini.

"Sama sepertimu. Aku juga merasa kurang nyaman berada disekitanya. Bahkan untuk dapat mengobrol nyaman seperti layaknya keluarga yang bahagia, aku butuh mama yang bisa meleburkan ketidaknyamanan itu."

Aku, saat bercerita padanya juga menerawang kembali ke arah lalu. Seolah sekelebat kenangan itu kembali. Tapi yah, aku harus kembali ke dunia nyata. Menyelesaikan ceritaku, karena dia memintaku untuk sadar berada kembali fokus padanya.

"Tapi hal itu berubah semenjak aku memutuskan untuk tinggal di tempat mbah, melanjutkan sekolahku. Hilangnya aku di hari-hari kerja ayah dan mama mungkin membuatnya mereka rindu -seolah aku juga tidak ikut merindukan mereka-. Yah, jadi setiap weekend aku baru balik dari peraduan."

"Berubah? Apakah ayahmu bukan maksudku "bokap"-mu merasa kehilangan momen berharga saat anak perempuannya sudah baligh?"

"Tidak juga. Bukan karena hal itu mereka berubah. Tapi ada kebahagiaan dan kesedihan di saat itu. Sedih karena anak tunggalnya tidak sering ada di rumah dan "katanya" tidak bisa mendengar sang anak berkeluh-kesah tentang masa remajanya. Bahagia karena akhirnya anak tunggalnya tidak menjadi sendiri karena sekarang mereka memiliki si bungsu untuk menemani menunggu sang tunggal pulang ke rumah."

"Dan...?"

"Dan semuanya hadir seperti sekarang. Mereka memutuskan memulai sesuatu yang baru. Terutama bokap yang memang sedikit "telat", akhirnya berhasil mengejar ketertinggalannya. Aku sendiri, masih merasa aneh, tak percaya dan tidak yakin dengan itu. Tapi berusaha menikmati walau terkadang masih terkekeh melihat sesuatu yang baru terjadi di akhir tahun-tahun ini."

"Hmm, sesuatu yang baru kadang memang mengagetkan. Iya benar, aku bukan merasa tak nyaman tetapi kaget. Aku seharusnya bahagia. Well, terima kasih mau bertukar-belukar dengan hal baru yang absurd untukku."

"Sama-sama. Sudah minum dulu air yang kau pesan itu sebelum kopiku datang."

Dia segera menghabiskan minuman yang tadi dipesannya sambil menungguku datang sekitar 2 jam yang lalu. Sebenarnya kami ridak hanya berdua. Ada "bokap" yang sejak awal berdiam dan tersenyum mendengar percakapanku dengannya. Apa yang dia lakukan? Tidak banyak. Hanya menemani mengobrol santai dan terkekeh tersenyum memandangku yang sedang asyik berkutik dengan keyboard laptop disebelahnya.

Bergadang seru katanya.


NO COPY PASTE WITHOUT CREDIT coffeepen,books


Comments