Ice Cream, When Sweetness Come

"Setelah ini, kita mampir ke toko sebentar ya. Aku mau membeli minuman dingin."

"Oke."

Selangkah kemudian kami sudah berada di sebuah toko. Aku dan dia pun masuk ke dalam. Mencari berjajar lemari pendingin.

"Ah, di sana rupanya." bisikku dalam hati.

"Kau mau minuman apa? Sekotak moccacino dingin atau teh?"

Dia terlebih dahulu berdiri di depan lemari pendingin dan mencari minuman untukku dan dirinya. Aku sendiri tidak menuju ke lemari pendingin di depanku tempat dia berdiri. Tapi beralih melangkahkan kakiku menuju sebuah refrigerator berisi berbagai macam ice cream. Entahlah apa yang membawaku ingin merasakan ice cream, padahal sudah lama aku tak menikmati manisnya.

"Kau ingin satu? Ambil saja rasa coklat. Itu bagus untuk penetralkan perasaan."

Aku kaget. Entah bagaimana dia bisa tahu apa yang aku pikirkan. Sedetik kemudian sebuah ice cream coklat sudah ditanganku. Setelah membayar dan keluar dari toko, aku tak langsung memakan ice cream ku. Tapi aku ingin membiarkannya sedikit mencair.

"Apa yang sebenarnya mengganggu pikiranmu? Kenapa tak kau nikmati ice cream itu? Lihat, dia sudah mencair."

"Oh, iya. Tidak ada hal yang mengganggu pikiranku. Hanya memang sengaja aku menunggu ice ini mencair."

"Apa kau tahu filosofi tentang ice cream?'

"Heh, apa yang barusan kau tanyakan?"

"Kau tahu kenapa ice cream selalu terasa manis juga selalu dingin?"

"Aku masih belum mengerti kenapa tiba-tiba kau menayakan ini. Karena sudah lama aku tidak pernah merasakan manis dari ice cream. Aku lebih suka dengan kopi. Yah, sesuatu yang pahit namun sedikit terasa manis meski ada ampas yang tersisa."

"Kau terlalu banyak meminum minuman berkafein. Cobalah lebih sering bergemul dengan ice cream. Tak perlu banyak. Tapi setidaknya kau bisa merasakan manis yang terlahir dari ice cream. Yang tentu saja kau tidak perlu merasakan pahit bahkan dari sisa ampas."

Aku hanya bisa tersenyum mendengar ucapannya kali ini. Mamang benar apa yang dia katakan. Aku terlalu lama berteman dengan pahit. Kecanduanku akan kopi bukan tanpa alasan. Jika bukan karena sebuah luka yang tetap kupelihara, mungkin sudah berpuluh kali aku mengganti cangkir kopi itu dengan berbatang ice cream.

"Too much coffee, its too much pain. Isnt it?"

Lagi. Sekali lagi dia menyentakkan lamunanku. Bagaimana bisa dia mengucapkan kalimat itu?

"Why you can say like that? Are you read my mind? Or something?"

Dia tersenyum.

"Tak perlu aku membaca pikiranmu. Itu terlihat jelas dari manik-manik matamu. Apa ada yang salah dengan omonganku tadi?"

"Tidak. Sama sekali tidak. Aku hanya bingung bagaimana caramu melihat semua itu. Apa ternyata pertahanan diriku sudah tak kokoh lagi?"

"Sebenarnya bukan karena pertahananmu. Tapi aku bisa melihat jelas saat kau memandang ice cream itu. Membiarkannya mencair hampir menjadi air. Memang sebagian orang sulit untuk memakan ice cream ketika masih membeku. Tapi tidak dengan kau. Seperti yang kau katakan tadi. Kau sengaja menunggunya mencair bukan?"

"Iya. Lalu?"

"Kesengajaanmu bukan tanpa alasan. Jika kau tahu apa filosofi dari secangkir kopi yang menawarkan rasa pahit dan manis pada saat bersamaan, pasti kau juga mengerti makna dari sebuah ice cream ketika dia masih membeku dan manis."

"Aku sama sekali tidak paham mengenai ice cream. Jika pun iya tentang kopi, tak sepenuhnya aku pahami. Hanya saja kopi menurutku lebih menawarkan sebuah ketenangan yang damai ketimbang ice cream."

"Bukan ketenangan sebenarnya yang kau dapatkan dari secangkir kopi. Hanya sebuah pelarian. Tempat pelarian yang kau butuhkan ketika air mata dan perasaan luka itu tak bisa kau teteskan. Mungkin kau bisa tersenyum dalam damai ketika setenguk kopi sampai di kerongkonganmu. Tapi lalu, pahit itu tetap tertinggal di lidah perasamu."

Aku sudah tak sanggup. Kenapa dia begitu tepat menebak semua tentang luka itu?

"Aku tak bermaksud memaksamu mengerti tentang sebuah kebahagian sejati. Aku juga tak melarang jika kau tetap ingin menikmati kopi pahit yang sedikit manis punyamu itu. Aku hanya ingin membuatmu sedikit menikmati rasa manis yang tak lagi berampas pahit. Cobalah."

Dia menyodorkan sesendok ice cream coklat beku punyanya ke dalam mulutku. Ada rasa aneh yang menjalar ke seluruh tubuhku ketika ice cream itu sampai di kerongkonganku. Tidak biasa dan... manis.

Benar. Rasa manis yang kukecap masih tertinggal di kerongkongan dan lidahku. Serta beku dari ice itu seolah lumer begitu saja menghantarkan sekejut senyuman dalam bibirku. Aku tersenyum lepas untuk pertama kalinya.

"Bagaimana?" tanya dia setelah melihat senyumku.

"Dingin dan manis."

Dia menatapku lalu tersenyum. Tatapan yang hangat darinya.

"Tidak perlu melukai luka yang lama bukan? Bahkan kau masih bisa menikmati secangkir kopi pahitmu juga."

"Benar. Aku tak perlu menutup luka dengan kopi lagi hanya karena ampasnya yang dapat menutupi bekasnya."

"Jadi, sesekali aku boleh menraktir ice cream kan daripada moccacino?"

"Boleh. Tapi tetap yang aku suka adalah caffeine terutama moccacino."

"Hahaha.. Tentu."

"Thanks. Berkat kau aku mengerti manisnya ice cream."

"Pleasure. Jadi, jangan kau musuhi lagi manis itu. Karena ketika manis itu datang, sebuah kebahagiaan sebenarnya mengajakmu untuk tersenyum lepas."

Tak perlukan aku menjelaskan lagi dengan siapa? Ini adalah dia "A". Pengisi 10 tahun yang membuatku tersadar bahwa luka tak selama harus tersimpan walau berbekas.


NO COPY PASTE WITHOUT CREDIT coffeepen,books

Comments