What Feel When Love Lost?


Kosong. Kurang dari nilai nol yang selalu aku artikan untuk beberapa nilai dalam suatu benda akhir-akhir ini. Tak tahulah apa yang sebenarnya ada dan bersebrangan dengan pikiran serta hatiku.
Bertanya lagi dan lagi.

"Yaahhh!! Kenapa ini semua terasa tak ada arti sama sekali?" teriakku menyeruak begitu saja di depannya.

"Kau ini kenapa? Apa yang membuatmu bertindak seperti lepas kontrol, hah?"

Dia meneriakiku dan mengguncang-guncang tubuhku dengan kedua tangannya. Membuat tubuhku seolah bagaikan layangan yang ditarik-ulur mengejar angin.

"Hentikan! Kau membuat kepalaku pusing." memintanya menghentikan apa yang dia perbuat kepadaku.

"Baik aku akan berhenti setelah kau mau berjanji menceritakan semua masalahmu."

"Iya, aku akan menceritakan semua. Sekarang berhenti dan biarkan aku duduk terlebih dahulu."

Akhirnya, dia membiarkan aku duduk dekat dengannya. Kalau kalian bertanya dimana sekarang aku bertemu dan dengan siapa, aku akan menjelaskan sedikit. Sekarang. Di sini. Kamarku tepatnya bersama dengan sahabat baikku.

"Hufthah.."

Aku menarik nafas yang paling dalam sebelum akhirnya dia memintaku mulai bercerita.

"Jadi, ada apa?"

"Aku bingung harus memulai menceritakan semua kepadamu dari awal atau hanya intinya saja. Karena sebagian hal yang aku alami ini kau sudah mengetahuinya."

"Bagaimana bisa aku tahu cerita seperti apa yang pernah kau alami jika kau sendiri tidak mau memulai menceritakannya. Mulailah dari awal karena pada akhirnya nanti kau bisa melompat ke inti dari ceritamu."

"Baiklah!"

Memikirkan kalimat pertama yang hendak aku ucapkan dengan diikuti tatapan tidak sabar darinya, membuatku menjadi sedikit gugup.

"Can we start?" tanya kembali.

"Well. Aku mungkin sudah pernah menceritakannya padamu, tapi seperti yang kau minta..."

Kalimatku terputus. Sesuatu yang basah tiba-tiba mengalir dari pelupuk mataku. Kristal bening yang selama ini aku tahan, nyatanya sudah tak bisa dibendung. Dia menatapku heran.

"Ada apa? Kenapa tiba-tiba kau menangis? Apa aku terlalu memaksamu? Ataukah ceritamu ini begitu menyakitkan? Maaf jika iya."

Aku hanya tersenyum menggeleng. Tidak. Dia sama sekali tidak memaksaku dan juga dia tidak menyakitiku. Hanya aku sebenarnya lelah. Lelah dengan sebuah ketidakpastian yang diriku sendiri yang membuatnya. Lelah dengan sebuah penantian yang memberikanku harapan. Ya, aku lelah dengan semua keadaan itu.

Setelah aku berhasil menghapus jejak kristal itu, aku mulai mengumpulkan keberanian mengatakan kepadanya kembali.

"Kau sama sekali tidak memaksaku untuk membagi sedikit beban ini. Kau juga tidak salah. Jadi, tidak perlu minta maaf. Aku akan memulainya. Tolong kau dengarkan dan jangan mengatakan apapun sebelum ceritaku selesai."

"Oke. Tapi apa ini ada hubungannya denganku?"

Ada. Tentu saja ada. Tetapi aku tidak bisa mengatakan padanya. Mengatakan iya sama saja aku membohonginya, karena pasti dia berpikir aku sudah tak jujur dengan mengatakan bahwa dia tidak salah. Sedangkan nyatanya berbeda.

"Ada. Karena kau pernah mendengarkan ceritaku ini sebelumnya." Berkata ada dengan alasan yang berbeda agar dia

"Well, now you can say anything about you story."

"Aku pernah bercerita padamu mengenai sesorang yang selalu datang dan pergi dengan segala perasaan yang kurasakan padanya bukan?"

"Iya. Lalu?"

"So, aku tak perlu lagi bercerita dari awal. Aku ingin menghapus perasaan yang aku rasakan padanya. Dan aku rasa usahaku kali ini berhasil. Tapi, seketika aku bertemu denganya kembali, aku merasa sepertinya ada yang kosong."

"Apa kau masih memiliki perasaan ini walau sedikit?"

"Hah.. Entahlah. Saat berada di dekatnya aku sudah tidak lagi merasakan gugup seperti sebelumnya. Setelah bertemu dengannya pun tak ada hal aneh yang aku lakukan untuk mengganggunya. Semua normal seperti biasanya, hanya saja ada sesuatu yang kosong."

"Apa itu sebabnya kau menagis?"

"Mungkin. Kalau pun sekarang aku memandangnya dan bertemu. Barang kali diantara kami ada sebuah dinding kaca tak terlihat yang menjaga."

"Siapa orang itu? Aku penasaran ingin tahu. Karena jujur ingatanku buruk ketika mengingat nama dan wajah seseorang."

Orang itu kau.

"Kau mengenalnya." hanya kalimat itu yang aku ucapkan.

"Siapa?"

"Sudahlah, aku tak mau lagi membahasnya. Oh iya, terima kasih sudah mau mendengarkan."

"Kau ini. Aku ini sahabatmu tak perlu merasa sungkan. Baiklah, kau mau minum sesuatu? Kopi mungkin? Aku mau ke dapur mengambil minuman karena kau sama sekali tidak menyediakannya kepadaku saat aku datang."

"Tidak. Saat ini aku tidak ingin kopi. Susu saja sebagai gantinya."

"Tumben. Biasanya sesuatu yang pahit yang selalu kau butuhkan ketika hatimu sedang kacau. Kenapa sekarang sesuatu yang manis?"

"Hanya sedang ingin saja. Apa tidak boleh? Dan siapa bilang kalau itu manis?"

"Lalu?"

"Rasanya anta, tidak manis dan pahit. Tak berasa sama sekali dan itu yang aku butuhkan sekarang."

"Baiklah, tuan putri. Tunggu pelayan pribadimu kembali ya."

Dia yang masih mampu membuatku tersenyum. Dia yang sudah lama selalu membantuku. Dia yang mungkin tidak tahu bahwa dirinya penyemangatku untuk terus berkarya. Dia yang sudah mengisi hati ini, aku meminta maaf. Karena harus kehilangan perasaan spesial dalam diriku untuknya.


NO COPY PASTE WITHOUT CREDIT coffeepen,books

Comments